Selasa, 08 Desember 2009

Apakah Koperasi suatu saat memberikan kontribusi yang besar atau signifikan bagi Perekonomian Indonesia?

Menurut saya Iya, Karena koperasi cukup banyak memberikan kontribusi dalam Perekonomian Indonesia. Dimana dalam hal ini koperasi memegang peranan yang sangat vital dan strategis dalam perekonomian Indonesia. Namun, saat ini belum banyak dari kita selaku penggerak koperasi yang benar-benar mengerti dan mau mendalami koperasi ini secara sungguh-sungguh. Terutama disebabkan oleh kendala dari pengembangannya sebagai Badan Usaha. Hal ini bisa dilihat dari peran koperasi saat ini di Desa kita masing-masing yaitu rendahnya partisipasi para anggota koperasi,efisiensi usaha koperasi relative rendah,citra masyarakat terhadap koperasi sendiri dan kompetensi SDM koperasi yang relative rendah. Koperasi di desa-desa kita kurang berjalan dengan optimal karena baik dari faktor intern maupun ekstern kurang dalam optimalisasi kerjasama antar koperasi. Faktor intern misalnya kurangnya pemahaman tentang apa itu koperasi dan kinerjanya. Faktor ekstern bisa dari pemerintah misalnya kurangnya pemberdayaan yang dilakukan pemerintah terhadap koperasi-koperasi di lingkup kita. Sebagai contoh kontribusinya yaitu terutama dalam pertumbuhan ekonomi usaha kecil,menengah dan koperasi (UKMK) hanya memberikan kontribusi sebesar 16,4% sedangkan usaha besar 83,6%. Berdasarkan penguasaan pangsa pasar, usaha kecil, menengah dan koperasi hanya menguasai pangsa pasar sebesar 20% (80% oleh usaha besar). Hal tersebut menunjukkan dua sekaligus, yaitu super kuatnya sektor usaha besar dan teramat lemahnya sektor UKMK. Keberadaan UKMK sebagai tulang punggung perekonomian kota menjadi perhatian khusus. Disamping itu kinerja UKMK dalam Perekonomian Indonesia. secara umum peran usaha tersebut dalam PDB mengalami kenaikan dibandingkan sebelum krisis tahun 1997,bersamaan dengan merosotnya usaha menengah dan besar .

peranan koperasi di indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Pokok Perkoperasian Nomor 12 tahun 1967 (disahkan tanggal 18 Desember 1967). Koperasi Indonesia diartikan sebagai : Organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang atau badan hokum. Koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan kegotong-royongan. Selanjutnya , dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa fungsi Koperasi Indonesia adalah:
1) Alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat.
2)Alat pendemokrasian ekonomi nasional.
3) Sebagai salah satu urat nadi perekonomian bangsa Indonesia.
4) Alat pembina insane masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia, serta dalam mengatur tata laksana perekonomian rakyat.
Agar tujuan Koperasi (kesejahteraan anggota dan masyarakat) dapat tercapai, maka koperasi memegang peranan yang sangat vital dan strategis dalam perekonomian Indonesia.Hal ini disebabkan, koperasi merupakan sektor usaha yang memiliki jumlah terbesar dengan daya serap angkatan kerja yang signifikan. Seperti pada Usaha kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK) merupakan kelompok usaha ekonomi yang penting dalam perekonomian indonesia. Hal ini disebabkan, usaha kecil menengah dan koperasi merupakan sektor usaha yang memiliki jumlah terbesar dengan daya serap angkatan kerja yang signifikan. Oleh karena itu kesenjangan pendapatan yang cukup besar masih terjadi antara pengusaha besar dengan usaha kecil, menengah dan koperasi (UKMK), pengembangan daya saing UKMK, secara langsung merupakan upaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, sekaligus mempersempit kesenjangan ekonomi. Keberadaan UKMK sebagai tulang punggung perekonomian kota menjadi perhatian khusus.
Kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, usaha kecil, menengah dan koperasi hanya memberikan kontribusi sebesar 16,4% sedangkan usaha besar 83,6%. Berdasarkan penguasaan pangsa pasar, usaha kecil, menengah dan koperasi hanya menguasai pangsa pasar sebesar 20% (80% oleh usaha besar). Hal tersebut menunjukkan dua sekaligus, yaitu super kuatnya sektor usaha besar dan teramat lemahnya sektor UKMK. Peran serta koperasi sudah makin terlihat dalam pengembangan roda perekonomian di Indonesia. Di banyak daerah, koperasi punya andil besar untuk mensejahterakan anggota maupun yang bukan anggota. Dalam peranan koperasi untuk memberikan kesejahteraan misalnya kontribusinya dalam menciptakan lapangan kerja. Hal ini tentu saja bisa makin meringankan beban pemerintah maupun swasta dalam menangani tenaga kerja yang jumlahnya makin meningkat dari tahun ke tahun. Koperasi disini juga dimaksudkan untuk menampung kegiatan perekonomian pada tingkat lapisan bawah yang masih merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Untuk melancarkan kegiatan-kegiatan koperasi tersebut.
Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa fungsi dan peran koperasi sebagai berikut:
Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat
Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko-gurunya Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Sejarah Perkembangan Koperasi Di Indonesia

Sejarah Perkoperasian di Indonesia
Pada tanggal 16 Desember 1895, Raden Aria Wiraatmadja, Patih Purwokerto, mendirikan De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Irlansdche (Bank Bantuan dan Simpanan Purwokerto), atau lebih di kenal dengan sebutan Bank Priyayi Purwokerto. Bank ini didirikan untuk membantu pegawai pemerintah (priyayi) terlepas dari jeratan lintah darat.
Muhammad Hatta berpendapat, bahwa Bank Priyayi Purwokerto bukan merupakan bank koperasi. Meskipun demikian, pendirian bank tersebut telah menggerakkan hati Asisten Residen De Wolff Van Westerrode untuk mengembangkan koperasi-koperasi kredit di kalangan petani di Seluruh Karesidenan Banyumas. De Wolff Van Westerrode ingin mengembangkan koperasi kredit model Raiffeisen seperti yang pernah dilihatnya di Jerman. Tetapi upaya untuk mengembangkan koperasi model Raiffeisen ini tidak terlaksana. Menurut Ir. Ibnoe Soedjono kegagalan ini disebabkan karena adanya kesenjangan kultural (cultural gap) antara lingkungan ekonomi modern (tempat lahir koperasi Raiffeisen) dan lingkungan ekonomi tradisional (di Jawa dengan sistem gotong-royong yang sifatnya sosial). De Wolff Van Westerrode kemudian melakukan reorganisasi dengan mengubah nama bank yang didirikan Raden Arya Wiraatmadja itu menjadi Purwokertosche Hulp Spaar en Landbouwercredit Bank (Bank Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto). Bersamaan dengan perluasan bank itu, di seluruh Karesidenan Banyumas didirikan 250 lumbung desa yang bertugas memberikan kredit dalam bentuk padi.
Berdirinya Bank Priyayi Purwokerto mendorong pemerintah untuk mendirikan Volkscredit Bank (Bank Kredit Rakyat) di seluruh Jawa dan Madura. Pada tahun 1934, semua Volkscredit Bank disatukan menjadi Algemeene Volkscredit Bank yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. Volkscredit Bank inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pengembangan cita-cita koperasi di kalangan masyarakat Indonesia dimulai pada tahun 1908 oleh Budi Utomo. Berdasarkan pemikiran bahwa rakyat yang lemah ekonominya tidak akan bisa membentuk negara yang kuat, maka organisasi gerakan nasional menganjurkan pembentukan koperasi di kalangan rakyat atau membentuk sendiri koperasi-koperasi. Budi Utomo dan Serikat Dagang Islam (kemudian menjadi Serikat Islam) membentuk koperasi-koperasi rumah tangga atau toko koperasi (koperasi konsumen) yang disebut “toko andeel”. Tetapi karena pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola koperasi konsumen masih sangat kurang, maka koperasi-koperasi tersebut tidak bertahan lama.
Melihat perkembangan koperasi yang semakin memasyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk mengeluarkan peraturan perundangan yang mengatur kehidupan perkoperasian. Belanda mengeluarkan UU No. 431 Tahun 1915 yang isinya antara lain: harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi, sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa, harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral, dan proposal pengajuan harus berbahasa Belanda. Peraturan-peraturan tersebut dirasakan sangat rumit dan mahal bagi rakyat Indonesia. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Koperasi yang terdiri dari 7 orang Belanda dan 3 orang Indonesia. Komisi ini bertujuan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan bagi koperasi di Indonesia. Atas rekomendasi Komisi Koperasi, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU No. 21 Tahun 1927. Undang-undang baru ini jauh lebih ringan dibanding UU No. 431 Tahun 1915, antara lain: hanya membayar 3 gulden untuk meterai, sistem usaha sesuai dengan hukum dagang masing-masing daerah, perizinan bisa diperoleh di daerah setempat, dan proposal pengajuan bisa menggunakan bahasa daerah.
Pada tahun 1927, dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studieclub yang menghimpun segolongan kecil kaum intelektual yang antara lain mempelajari masalah perkoperasian.
Pada tahun 1929, Partai Nasional Indonesia menyelenggarakan Konggres Koperasi di Jakarta. Konggres ini membangkitkan kembali semangat berkoperasi masyarakat indonesia dan mendorong berdirinya banyak koperasi di Jawa. Kebangkitan koperasi ini mencapai puncaknya pada tahun 1932, setelah itu koperasi mengalami kemunduran. Hal ini menunjukkan dasar-dasar yang dimiliki koperasi-koperasi tersebut masih lemah.
Pada tahun 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU No. 21 Tahun 1933 yang mirip UU No. 431 Tahun 1915. Dengan dikeluarkannya peraturan ini, maka di Hindia Belanda berlaku dua peraturan, yaitu: UU No. 21 Tahun 1933 dan UU No. 91 Tahun 1927.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, Kantor Pusat Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri dibuka kembali dengan nama Syomin Kumiai Tyo Dyimusyo, sedangkan kantor-kantor di daerah menjadi Syomin Kumiai Tyo Sandansyo. Pemerintah Militer Jepang masih memakai UU No. 91 Tahun 1927 tentang perkoperasian dan mengeluarkan UU No. 23 yang mengatur tata cara pendirian perkumpulan dan penyelenggaraan persidangan, antara lain disebutkan bahwa untuk mendirikan perkumpulan, termasuk koperasi harus mendapat izin Shuchokan (setara dengan Residen).
Pada tanggal 1 Agustus 1944 pemerintah Jepang mendirikan Kantor Perekonomian Rakyat. Dengan berdirinya kantor ini, maka Jawatan Koperasi menjadi bagian dari Kantor Perekonomian Rakyat yang diberi nama Kumiai. Kumiai bertugas mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan koperasi. Kumiai oleh pemerintah Jepang digunakan untuk membagikan barang-barang kepada rakyat, dan untuk mengumpulkan hasil bumi untuk keperluan perang tentara Jepang.
Pada tahun 1945, dengan lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia, maka semangat koperasi bangkit kembali. Ada dua penggaruh yang tampak menggebu dalam menggerakkan koperasi, yaitu semangat mendirikan koperasi secara besar-besaran untuk mencari keuntungan tanpa mengindahkan dasar-dasar koperasi yang benar, dan pengaruh jiwa kumiai yang menghendaki terbentuknya koperasi distribusi.
Pada tanggal 11-14 Juli 1947, orang-orang yang menghendaki tumbuh dan berkembangnya koperasi-koperasi dengan dasar-dasar yang murni kemudian menyelenggarakan Konggres Koperasi Indonesia I di Tasikmalaya. Dalam Konggres Koperasi Indonesia I ini dibentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang di kemudian hari menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN). Keputusan-keputusan lain yang diambil adalah menetapkan tanggal 12 Juli sebagai hari Koperasi dan mengukuhkan gotong-royong sebagai azas koperasi.
Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI mempunyai peranan besar dalam menggerakkan dan mengembangkan koperasi di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam Konggres Besar Koperasi seluruh Indonesia II di Bandung tahun 1953, Muhammad Hatta dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Sejak itu gerakan koperasi mengalami konsolidasi dalam arti ideologis maupun organisasi. Apalagi setelah menjadi anggota Internasional Cooperative Alliance (ICA) pada tahun 1956.
Perkembangan Undang-undang Perkoperasian Setelah Kemerdekaan
Pada tahun1949 pemerintah Indonesia mengganti UU No.91 Tahun 1927 dengan UU No. 179 Tahun 1949 yang pada hakekatnya adalah penterjemahan UU No. 21 Tahun 1927. Pada tahun 1958 pemerintah mengeluarkan UU No. 79 Tahun 1958 dan mencabut UU No. 179 Tahun 1949. UU No. 79 ini adalah undang-undang yang dibuat berdasarkan UUDS pasal 38 (kemudian menjadi UUD 1945 pasal 33).
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah mengeluarkan PP No. 60 Tahun 1959 untuk menyesuaikan fungsi UU No. 79 Tahun 1958 dengan haluan pemerintah dalam rangka melaksanakan demokrasi ekonomi terpimpin. Pada tahun 1965 pemerintah mengganti PP No. 60 Tahun 1959 dengan UU No. 14 Tahun 1965. Undang-undang baru ini sangat dipengaruhi oleh konsep pemikiran komunisme. Hal ini tampak dari konsepsi dan aktivitas koperasi yang harus mencerminkan gotong-royong berporos NASAKOM. UU No. 14 Tahun 1965 hanya bertahan dua bulan karena setelah itu terjadi peristiwa G-30 S/PKI dan lahirnya Orde Baru.
Setelah dua tahun koperasi dikembangkan tanpa undang-undang, karena pengganti undang-undang yang lama belum ada, maka pada tahun 1967 pemerintah mengeluarkan UU No. 12 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian. Pada tahun 1992 pemerintah mencabut UU No. 12 Tahun 1967 karena dianggap sudah tidak relevan lagi dan mengeluarkan UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Undang-undang ini kemudian berlaku sampai sekarang.
Ibnoe Soedjono, Kumpulan Tulisan: Koperasi dan Pembangunan Nasional, Pusat Informasi Perkoperasian, 1997